Advetorial

Senin, 13 September 2010

FaceBook Fifi Aleyda Yahya

ingin berteman dengan Fifi aleyda yahya di facebook? klik disini



Smart and beautiful. Kecerdasan dan kecantikan menyatu dalam diri dan pribadi Fifi Aleyda Yahya. Bukannya menjadi model dan artis, mantan none Jakarta 1995 ini malah memilih jurnalis sebagai profesinya. Sebuah keputusan yang berani. Sejauh mana ia menikmati pekerjaan yang penuh tantangan ini?

Fifi Aleyda Yahya, anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Syamsuddin Yahya SE dan Andi Mutiara ini sejak kecil sudah terbiasa berbicara dalam bahasa Inggris. Ayahnya adalah seorang diplomat yang bekerja sebagai staf Departemen Luar Negeri, membuat Fifi pada usia lima tahun sudah ikut serta orangtua hijrah ke Kuwait. Selama empat setengah tahun Fifi menetap di negeri kaya minyak itu.

Setelah itu ia mulai sering berjalan-jalan ke luar negeri sesuai dengan tempat dinas sang ayah. Fifi sempat kembali ke Jakarta, dan sekolah di SMPN 155 Jakarta, namun itupun hanya dua tahun saja. Setelah itu Fifi berangkat lagi ke Islamabad, Pakistan sampai akhirnya menamatkan sekolah lanjutan tingkat atas di sana. Tahun 1990, setelah kembali di tanah air, Fifi memilih pendidikan di Fakultas Ekonmi jurusan Manajemen Universitas Trisakti Jakarta. Setamat dari sana, ia malah menekuni dunia jurnalistik sampai sekarang ini.

Keterampilan berbicara di depan umum sudah dilatihnya semenjak masih SMA. Ayahnya terbilang sering mengajarkan ilmu public speaking pada wanita kelahiran Jakarta 1 April 1973 ini. Saat masih kuliah, Fifi termasuk anggota debat pendapat yang hebat dalam bahasa Inggris, mewakili kampusnya berlaga dengan universitas lainnya dan berhasil meraih juara. Fifi juga Pernah mewakili kampusnya mengikuti International Student Conference di Nagoya, Jepang. Saat itu Fifi berdlskusi dengan peserta lain membahas masalah lingkungan hidup. Berikut petikan wawancaranya dengan majalah ME.

Kenapa Anda tertarik menggeluti dunia jurnalistik?

Saat masih kuliah, saya ikut menjadi press liaison pada APEC di Bogor. Dari sinilah saya tertarik dengan dunia jurnalistik. Saat itu saya melihat para jurnalis dari berbagai dunia berkumpul dan meliput berbagai kegiatan APEC di Jakarta dan Bogor.

Siapa yang pertama kali memperkenalkan Anda terhadap dunia jurnalistik, dan dari mana belajar jurnalistik?

Setelah APEC saya banyak kenal dengan beberapa orang media termasuk dari TVRI, yang mengajak saya untuk mencoba melamar ke TVRI. Ikut test, eh ternyata lulus. Di TVRI saya bergabung dengan program bahasa Inggris di TVRI. Di tahun 1996, saya ikut diklat selama dua bulan dan mendapatkan pendidikan jurnalistik formal pertama. Lulus diklat, saya ikut liputan. Pada saat bersamaan, saya mendapat kesempatan siaran pertama. Di tengah itu, tahun 1997, saya juga bekerja di perusahaan telekomunikasi Australia, Telstra. Terakhir sebagai Corporate Communications Managersebelum saya pindah ke Metro TV. Saat bekerja di Telstra, malamnya saya ke TVRI atau siaran pagi pas akhir pekan. Saya menjalani dua profesi selama kurang lebih empat tahun.

Apa alasan Anda pindah, dan menjadikan Metro TV sebagai pelabuhan, bukannya masih banyak televisi swasta lain?

Pada saat saya hamil saya memutuskan untuk fokus di satu bidang agar tidak terlalu lelah dan lebih terarah. Saya melamar ke Metro TV, di-test dan langsung diterima. Prosesnya sangat cepat. Alasan saya ke MetroTV, karena Metro TV televisi berita.

Bagaimana pengalaman Anda pertama kali siaran? Apa mengalami masalah, misalnya gemetar dan grogi?

Saya memang sangat grogi. Kalau ingat pengalaman pertama siaran dulu, wah jadi geli sendiri. Begitu nervous-nya, saya jadi susah konsentrasi dan baca prompter-nya jadi berantakan.

Anda berasal dari keluarga diplomat, tidak tertarik mengikuti jejak orang tua?

Papa dan mama dari dulu selalu membiasakan saya untuk ambil keputusan sendiri, termasuk buat sekolah dan karier. Makanya ketika memilih karier sebagai jurnalis, saya tidak menemui larangan dari orangtua. Sebelum saya memutuskan menjadi junalis, mereka memberikan pertimbangan-pertimbangan, tapi saya tetap pada keputusan semula yaitu menjadi wartawan.

Sebenarnya apa sih harapan orangtua terhadap diri Anda?

Yang jelas harus bisa menjadi orang yang bertanggung jawab dengan apa yang dilakukan. Melakukan tugas yang mulia sehingga dalam hidup kita tidak terlalu banyak melakukan hal-hal yang sia-sia.

Selama ikut tugas orangtua ke berbagai belahan dunia, negara mana yang paling berkesan?

Mungkin Kuwait. Saya disana sejak TK hingga kelas 5 SD. Yang paling saya ingat dari Kuwait adalah pantainya dan acara rutin memancing dengan kapal di laut bersama keluarga. Senang banget kalau ingat itu semua. Saya juga ingat piknik di padang pasir yang dingin. Selebihnya, Kuwait adalah kota yang sangat modern dengan berbagai makanan yang enak mulai dari swarma (daging panggang diiris tipis-tipis dan dimakan dengan roti) yang lezat, makanan tradisional yang bervariasi sampai kedai hotdog dan hamburger yang populer. Saya jatuh cinta dengan masakan Pakistan dan India saat tinggal di sana. Sampai saat ini saya masih sebagai penyuka makanan itu. Apalagi, di Jakarta banyak pilihan kalau kangen. Makanan favorit saya adalah ayam tandoori, ayam tikka, dal dan raita. Tentunya dengan roti nan yang hangat, tidak lupa chai-nya (teh susu). He he.., kenangan terindah tentang Pakistan adalah makanannya!

Dari kecil Anda berpindah-pindah tempat tinggal, bagaimana cara menyesuaikan diri?

Sebagai anak pertama dari dua bersaudara dan satu-satunya perempuan, saya harus dapat cepat beradaptasi. Karena sering pindah negara maka kita jadi relatif mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, termasuk lingkungan sekolah. Berhubung masih kecil, kadang-kadang di lingkungan sekolah baru sering sulit beradaptasi.

Terpilihnya Fifi Aleyda Yahya sebagai None Jakarta 1995/1996 semakin memperkaya pengalamannya. Pada malam final pemilihan None Jakarta, ia diminta juri untuk menceritakan permasalahan sektor pariwisata Jakarta. Ketika itu ia mampu menjelaskan dengan lancar. Fifi bersyukur semua prosedur pemilihan None dilewati dengan mulus. Diakui oleh wanita cantik ini, dari event ia banyak belajar tentang berbagai macam karakter manusia.

Disinilah juga tanpa sadar ia menemukan jodohnya, Rivolinggo Pamudji, yang sama-sama wakil dari Jakarta Barat. Perkawinannya dengan psikolog lulusan Universitas Indonesia yang kini adalah HRD di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang makanan membuahi dua orang anak bernama Alisha (5 tahun), dan Figo (2 tahun). Bagi Fifi anak adalah generasi penerus keluarga dan bangsa yang harus dibina sebaik mungkin.

Walau hari-harinya banyak habis untuk bekerja, ibu dua anak ini selalu meluangkan waktu untuk bercengkrama dengan anak-anak tersayangnya. Khusus hari libur, ia menfaatkan untuk jalan-jalan bersama anak dan menjalani hobinya, yaitu membaca.

Bisa ceritakan hingga bisa menjadi Miss Jakarta (None Jakarta)?

Saya diajak teman untuk ikut Abang None. Semasa itu saya masih kuliah. Setelah menang di wilayah Jakarta Barat, akhirnya berhasil menang juga di DKI. Ini merupakan salah satu pengalaman paling menarik dalam hidup saya. Saya merasa saat itu tuntutan terhadap Abang None Jakarta sangat tinggi. Sebagai duta pariwisata, sebagai host yang baik dalam setiap kegiatan pemerintah provinsi DKI Jakarta. Dari kegiatan ini banyak hikmah yang saya dapat sebagai proses pendewasaan saya.

Anda pasti mempunyai kriteria sendiri terhadap pria. Apa alasan Anda menjadikan Rivolinggo Pamudji sebagai suami?

Karena ia adalah paket yang menarik, hehehe. Maksudnya, alasan saya memilihnya karena semua alasan yang saya butuhkan sudah terangkum dalam satu paket tubuh yaitu suami saya. Begitulah...

Seperti apa sih kisah percintaan Anda dengan sang suami?

Pertama ketemu di acara Abang dan None Jakarta. Waktu itu kita sama-sama wakil dari Jakarta Barat, tapi biasa saja. Kemudian seorang teman dari sahabat saya memperkenalkan kembali. Ternyata adik suami saya adalah teman dari sahabat saya Setelah itu baru ada "rasa” hehehe...

Apa kenangan Anda selama menjalin asmara dengannya?

Apa yah, pokoknya banyak deh. Tapi kami memang tidak pernah mengkhususkan pada sesuatu hal kecuali pernikahan. Apa yang kami lakukan dan lewati itu adalah kenangan yang baik. Bisa menjadi bahan belajar untuk masa depan.

Sebagai penyiar Anda pasti sibuk, bagaimana caranya Anda membagi waktu untuk keluarga?

Setiap ada waktu longgar di luar pekerjaan saya menfaatkan untuk bertemu dan bercanda dengan keluarga. Sebelum menikah, saat saya masih di TVRI malah lebih repot dari sekarang. Jadi, setelah sudah menikah, suami saya sudah mengerti tentang resiko pekerjaan saya. Anak juga terkadang saya ajak ke kantor agar sejak kecil mereka juga terbiasa dengan pekerjaan saya. Jadi mereka tahu kemana dan apa perkerjaan yang membuat saya sibuk.

Kalau libur apa yang Anda lakukan bersama keluarga dan anak tersayang?

Berkumpul bersama keluarga, membaca, jalan-jalan dan makan-makan adalah aktivitas yang saya sukai.

Anak sekarang sudah bisa apa saja, dan apa kebiasaannya yang sering membuat Anda tertawa?

Ya sudah bisa macam-macamlah, namanya juga anak keci. Kini yang nomer dua sudah bisa berjalan lancar. Bagi saya tingkah mereka aneh-aneh dan lucu. Tingkahnya yang lucu membuat saya tertawa dan lupa dengan mumetnya pekerjaan. Pokoknya ada saja yang mereka lakukan setiap hari yang membuat hati senang. Merekalah semangat hidup saya, sama seperti anak seusia mereka, sekarang masih dalam masa perkembangan.

Apa harapan Anda terhadap anak?

Masa depan dan kebahagiaan mereka adalah yang terpenting untuk saya. Yang penting mereka punya kemampuan untuk bertahan hidup. Kalau sudah bisa seperti itu maka anak akan lebih mudah bertahan menghadapi tantangan yang lain.

Pola pendidikan apa yang akan Anda terapkan padanya?

Yang saya pentingkan adalah segi agama. Karena itu anak saya sekolah di sekolah yang berbasis agama. Jika agama sudah kuat dari kecil, setelah dewasa nanti ia akan mengerti apa yang boleh dilakukan dan yang seharusnya tidak dilakukan.

Sebagai presenter yang butuh penampilan, Anda pasti melakukan perawatan. Bagaimana Anda melakukannya?

Saya melakukan perawatan dengan sederhana saja kok. Yang penting istirahat harus benar-benar cukup. Kalau istirahat kurang, maka resiko pekerjaan juga jadi taruhannya. Apalagi kita sebagai jurnalis harus dituntut siap sedia setiap saat. Betul kan?

Anda punya waktu khusus untuk ke salon, dan berapa biaya yang dikeluarkan untuk itu?

Pasti ada lah tapi tidak ada jadwal khusus untuk itu. Itu juga karena pekerjaan saja. Karena rambut saya sering diberi hairspray, maka saya juga harus rajin-rajin ke salon agar kesehatan rambut tetap terjaga. Jadi tergantung kerjaan saja, kalau tidak kemana-mana, ya tidak usah ke salon. Kalau masalah biaya, saya tidak pernah menghitungnya, yang penting terawat saja.

Apa saja kegiatan Anda untuk menghilangkan kesumpekan dunia kerja?

Kalau sekarang lagi senang main sama anak. Bisa menghilangkan stres, tapi kalau sendiri, saya suka baca buku. Biasanya baca novel, yang penting ringan-ringan saja. Kalau dulu, saya suka traveling. Tapi karena sekarang sudah bekerja, akhirnya hobi yang satu ini harus beristirahat dalam waktu yang tidak ditentukan.

Bagaimana tanggapan Anda tentang tayangan kekerasan yang ada di televisi?

Hal ini menjadi tanggungjawab kita bersama. Sekarang kita mudah sekali mengadopsi apapun dari media televisi. Apalagi sekarang sudah banyak tayangan yang memberi contoh tentang kekerasan yang dikonsumsi semua lapisan masyarakat, termasuk anak-anak. Ini menjadi persoalan baru, agar tidak terjadi hal-negatif pada anak-anak, orangtua harus mengontrol tontonan anak-anaknya. Tidak hanya orangtua, negara harus turut mengatur dan ikut ambil bagian dalam pengaturan jadwal tayangan yang sekiranya tidak bisa menjadi contoh bagi generasi muda.

Sumber: Male Emporium


Tidak ada komentar:

Posting Komentar